Saat diperhatikan secara seksama, ternyata hamparan itu bukanlah padang gembala, melainkan sawah yang terlantar. Tampak pematang dan petakan yang mengeras kering. 

Bantoli, nama dusun dimana hamparan Sawah sekitar 100 Ha itu berada. Penuturan warga setempat, mengatakan hamparan itu sebenarnya sangat produktif di masa lalu. 

Namun belangan ini tak lagi seperti dulu. Konon sudah pulang tahun kondisinya memprihatinkan. Padahal, hamparan itu menjadi tumpuan petani dua desa bertetangga, Stadong dan Banagan. 

Meski berada di pesisir tepian laut yang memanjang, namun tradisi masyarakat di kedua desa itu kental dengan tradisi petanian dari dulunya.

"Orang-orang tua kami dari dulu adalah petani sawah pak. Sekarang terpaksa mencari pekerjaan lain untuk hidup," ungkap warga yang enggan menyebutkan namanya saat itu.

Informasi yang dihimpun media ini menyebutkan kendala utama adalah pasokan air yang tak ada. Kalaupun ada, harus berbagi dengan hamparan lainnya yang hanya bersebelahan sungai kecil. 

Sayangnya masyarakat tak berminat mengalihfungsikan lahan tersebut untuk tanaman palawija lainnya. Mereka lebih memilih sawah mereka terlantar hingga waktunya mendapatkan giliran pasokan air.

Itu artinya mereka harus bersabar menunggu hingga dia kali musim tanam baru dapat giliran air sawah. Kondisi demikian tentu sangat disayangkan karena waktu cukup lama itu terbuang percuma tanpa menghasilkan apa-apa bagi petani sawah. 

Sepertinya bukan sekedar membutuhkan air, tapi lebih dibutuhkan adalah perhatian dari instansi pemangku kebijakan pertanian dan instansi terkait baik di Pemkab Tolitoli maupun Pemprov Sulteng. 

Semestinya menyambut dan menjemput program menteri pertanian saat ini, Andi Amran Sulaeman yang kerap tampil mendengungkan pompanisasi bagi daerah kesulitan air sawah dalam rangkah menopang ketahanan pangan nasional...(Tim).