JAKARTA, KLIKNUSANTARA.COM, SOROTAN REDAKSI || Berubah sekelabat. Seperti itu penggambaran Sadli Isra, salah satu dari 9 Hakim MK saat sidang pengucapan putusan MK pada perkara Nomor 90/PPU/XXI/2023, soal gugatan batasan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pasal 169 UU Pemilu no. 7 Tahun 2017.
Betapa tidak, dalam bilangan singkat, di tempat dan dalam sidang yang sama, MK menyampaikan putusan berbeda dalam substansi gugatan yang sama.
Pembacaan putusan perkara atas permohonan PSI dan bebebrapa pihak dengan maksud dan substansi sama sebelumnya, diputuskan menolak keseluruhan permohonan penggugat.
Respon publik atas pemberitaan langsung media mainstream maupun median online, meneguhkan konsistensi MK mengawal konstitusi. Jempol dan pujian sebagai ungkapan surprise para pakar atas sikap MK tersebut viral dalam pemberitaan seluruh media.
Prof. Juanda yang diundang khusus TV One, mengungkapkan kegembiraannya dalam ungkapan yang agak rumit.
Sebagai pakar, ia telah memprediksi MK akan mengabulkan gugatan sesuai keperluan kerabat istana yang berkepentingan maju cawapres sementara terganjal aturan usianya yang masih dibawah 40 tahun.
"Prediksi saya meleset, saya prediksi MK akan mengabulkan. Ternyata menolak. Saya sangat bersyukur karena prediksi saya meleset," ungkap sang Profesor.
Ungkapan Profesor Juanda itu mewakili semua pihak utamanya mereka yang ingin adanya konsistensi dan integritas hakim MK dalam mengawal konstitusi yang tak terpengaruh arus opini dan kepentingan politik pragmatis.
Apa daya, usai beberapa putusan dibacakan, yang konsisten menghormati kewenangan pembuat undang-undang untuk mengambil sikap perubahan aturan dalam pasal dimaksud. Tiba giliran gugatan seoarang mahasiswa dengan substansi yang sama sebelumnya, dibacakan putusannya, menolak sebagian dan mengabulkan sebagian.
Disinilah pokok kisruh dan wajah asli seorang Ketua MK bernama Anwar Usman menampakkan sikap tulen seorang paman memenuhi harapan kerabat meloloskan norma hukum yang memungkinkan sang ponakan memenuhi persyaratan maju sebagai cawapres.
Kontan putusan itu memenuhi prediksi Prof. Juanda dan banyak pihak lainnya, bahwa hubungan kekerabatan Ketua MK, Anwar Usman dengan Presiden Jokowi, akan memangkas rintangan usia pencalonan presiden dan wakil presiden.
Dalam putusan itu, MK menyebut Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun,” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar hakim Anwar Usman.
Dengan begitu, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Padahal, sebelumnya, dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PPU-XXI/2023, mahkamah menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk UU untuk mengubahnya, dan putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk UU, dalam hal ini Presiden dan DPR.
Anwar Usman melalui putusan Mahkamah, berpendapat pembatasan usia minimal capres-cawapres 40 tahun berpotensi menghalangi anak-anak muda untuk menjadi pemimpin negara.
Sadli Isra mengungkapkan sikapnya yang amat berat dan menyayangkan putusan itubdalam penyampaian dissenting opinion yang dibacakan sendiri dalam sidang pengucapan putusan itu.
“Saya benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini,” kata pria kelahiran Paninggahan, Solok, Sumatera Barat itu.
Dia menuturkan, sejak menjadi hakim konstitusi pada 11 April 2017, baru kali ini mengalami peristiwa aneh yang luar biasa.
“Dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ujar Saldi dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Senin (16/10/2023).
"Menimbang terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menasbihkan makna baru atas norma Pasal 169 hruf q UU 7/2017, saya memiliki pendapat berbeda. Saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya mahkamah pun menolak permohonan a quo,” kata Saldi.
“Apakah mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak terjadi secepat ini,” kata Saldi.
Sadli Isra tak sendirian, atas putusan tersebut, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Tulis Komentar