Jakarta, Kliknusantara.com||
Kisruh terkait dugaan ijazah palsu mantan presiden selain berlarut-larut juga menjadi-jadi. Polemiknya melebar tak tentu arah. Media sosial dan media mainstream seolah tak kehabisan bahan isu soal ijazah tersebut.
Tentu soal ijazah palsu ini menjadi titik tembak yang sangat empuk bagi media. Sebab melibatkan orang mantan nomor satu di negeri ini, mengendalikan kekuasaan politik nasional bukan hanya ketika menjabat presiden, namun juga sampai saat ini bahkan jauh sebelumnya.
Tak kurang lembaga pendidikan tinggi sekelas Universitas Gadjah Mada (UGM) tersohor di dalam negeri bahkan internasional, ikut terseret-seret. Petinggi UGM seperti tak berdaya kendati telah berulang kali menjelaskan keabsahan ijazah mantan Walikota Solo itu.
Laazimnya kasus pidana pemalsuan, simpel saja bagi kepolisian untuk memprosesnya. Namun lembaga paling otoritatif soal reserse dan kriminal sebagai penegak hukum itu seperti kehilangan keramatnya. Sudah bertahun-tahun, bahkan saat yang empunya masih berkuasa, kasus itu tak ada kepastian.
Kebingungan publik terasa amat kental. Jika saja tuduhan itu tak mengandung kebenaran sedikitpun, mengapa tak segera di hentikan. Sebaliknya pun demikian, pisau hukum bisa segera memutusnya.
Pertanyaannya, serumit itukah urusan pembuktian kebenaran di negeri ini? Mengapa publik kita cenderung tertarik dengan irama opini seolah kebenaran itu adalah hitungan kuantitatif dan bukan kualitatif.
Padahal pandangan para kaum sofis kebenaran tetap saja adalah benar sekalipun kondisinya terpendam dalam kebangan kejahatan.
Mungkin saja dalam tanah politis gorengan ijazah palsu ini memiliki nilai khusus untuk jatuh menjatuhkan dan saling klaim kebenaran. Namun kebenaran hakikinya adalah fakta itu sendiri.
Secara kritis dapat kita kejar siapa yang memegang fakta itu. Ataukah kedua pihak yang dituduh atau pun yang menuduh atau pihak terkait sedang berusaha menyembunyikan fakta-fakta untuk keuntungan masing-masing?
Jauh lebih penting dari itu, sesungguhnya kita perlu melihat substansi dari fakta-fakta itu. Namun semua pihak bertahan pada kekuatan klaim masing-masing maka substansi jadi terkubur dan hanya menyisakan kebisingan laksana suara knalpot di jalan raya.
Pertanyaan kritisnya, sudah separah apa kehidupan kita dalam berbangsa? Pada level elit menyibukkan diri dengan ijazah yang palsu?
Saling menutupi fakta, membangun ilusi klaim kebenaran, padahal ilmu logika, tidak mungkin ada dua kebenaran yang saling bertentangan.
Dari sisi formil dalam persyaratan jabatan politik semisal presiden, ijazah adalah persyaratan untuk maju pencalonan. Namun syarat itu hanya sebatas ijazah SLTA. Sementara polemik pemalsuan adalah ijazah Sarjana. Tak mesti menggugurkan apapun jika itu juga ternyata palsu. Toh yang bersangkutan telah purna menjabat.
Tentu secara moril akan lain halnya. Namun hukum moril sifatnya adalah sanksi sosial. Mantan presiden Jokowi berkewajiban untuk memberikan fakta sebenarnya. Jika ia benar maka gugurlah tuduhan itu dan mereka yang menuduh, patutlah dapat sanksi hukum formil maupun sanksi sosial. Jika pun itu ternyata diakui palsu, maka secara moril ada kejujuran sebagai kebenaran dalam sisi lainnya.
Artinya, apa pun fakta dari ijazah tersebut tak akan ada pengaruh secara substansial. Namun patut menjadi catatan bahwa dalam berbangsa perlu adanya rasa malu walau sedikit saja.
Malulah kepada rakyat, meski sedikit saja....
Tulis Komentar