Sukseskan Pilkada Serentak 2024

Miliki Segera..! Buku Anyar: SIAPA YANG MENGONTROL INDONESIA?

$rows[judul]

PERTANYAAN tentang siapa yang mengontrol Indonesia, setelah Orde Kontrol Militer selama 32 tahun di tahun 1998 runtuh, menghinggapi banyak pikiran aktivis. Selagi tidak tepat mengidentifikasi siapa yang mengontrol, maka sasaran aktivis untuk mengubah keadaan tidak akan mengenai sasaran. 

Sampai sejauh ini, agak sulit mengidentifikasi dengan tepat siapa sebenarnya yang paling sentral dan paling determinan menguasai Indonesia.

Sebenarnya yang mengontrol Indonesia saat ini secara kasat mata ialah partai-partai. Dan bicara kekuasaan partai, letaknya di tangan ketua umum partai. Itulah sebabnya ketua umum-ketua umum partai layaknya dewa-dewa yang berwenang menunjuk siapa gubernur, bupati, walikota, menteri, komisaris, hingga pemilik lapak dan menerima secara rutin aliran permintaan restu politik dan upeti. Tapi, dengan banyaknya partai, dengan kondisi tidak ada yang pemenang mutlak di atas 50% lebih kursi di parlemen, ditambah pemilihan Presiden bukan langsung dipilih oleh anggota partai di parlemen, tapi oleh rakyat secara langsung, maka kekuasaan ketua umum-ketua umum partai terhadap kontrol terhadap Indonesia, relatif dan terbatasi. Ketua umum-ketua umum partai ini harus berbagi kuasa dengan presiden terpilih, dan seperti sekarang yang tampak antara ketua umum partai merah dengan presiden Jokowi, mulai bergesekan dan bersaing tentang siapa yang mengontrol Indonesia. Nyatanya partai merah yang dianggap hegemonik, dapat dipecundangi dan diakhiri hegemoninya dengan hanya satu "permainan trap" untuk menentukan capres 2024 lalu, yang membawa ke situasi hubungan bersaing pengaruh antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum partai tersebut.

Selagi situasinya seperti di atas, dimana ketua umum-ketua umum partai tidak ada satu pun yang determinan akibat perolehan kursi di parlemen tidak ada satu partai pun melebihi 50%, ditambah posisi Presiden Indonesia sebagai puncak pimpinan organisasi kekuasaan negara tidak dipilih oleh ketua umum-ketua umum partai, juga biaya operasional kontestasi dalam pemilihan dan perebutan anggota parlemen, kepala-kepala daerah, presiden hingga biaya pemilihan ketua umum partai pun, demikian mahal hingga niscaya melibatkan para pemodal besar seperti para konglomerat yang sudah mapan secara struktur ekonomi, maka di ruang ini, masuklah tangan dan pengaruh para cukong dalam menentukan siapa saja yang didudukkan di jabatan-jabatan strategis, terutama sekali yang berhubungan dengan keamanan dan kelangsungan bisnis para konglomerat tersebut. Biasanya para konglomerat lebih terlatih dan lebih pintar mengatur kepentingannya karena kebiasaan mereka berpikir strategis dan jangka panjang, ketimbang para politisi yang umumnya pribumi, berpikir jangka pendek dan hanya peduli bagaimana dia merebut dan mengamankan jabatan, dan sepeninggal dirinya tidak terlalu dipikirkan.

Jadi boleh disimpulkan bahwa yang mengontrol Indonesia saat ini yaitu para ketua umum-ketua umum partai ditopang oleh para konglomerat-konglomerat yang memang bisnisnya tergantung dengan keadaan perekonomian negara. Jika terjadi krisis ekonomi, konglomerat inilah yang lebih cepat terpukul akibat rasio utang dan sifat bisnis mereka padat modal dan berorientasi ekspor. Di sini terlihat betapa rentannya eksistensi konglomerat yang demikian rekat dengan situasi politik, dan selalu berkepentingan menjaga hubungan abadi dengan para penguasa yang berhak mengatur konsesi, lisensi, proteksi, dan orientasi ekonomi, sehingga sifat hubungan di antara dua pihak ini, yaitu simbiosis, parasit, patron-klien dan kadangkala malah bersifat majikan dan pelayan. 

Bila dahulu di masa Orde Militer dimana kekuasaan tersentral sedemikian rupa, maka posisi konglomerat lebih sebagai pelayan, tapi sekarang situasinya barangkali sudah berbalik, akibat makin mengguritanya kekuasaan ekonomi dan politik para konglomerat, sehingga yang jadi majikan justru mereka.

Selagi situasi ekonomi politiknya seperti yang digambarkan di atas, maka dualisme kekuasaan antara kekuasaan ekonomi di tangan para konglomerat dan kekuasaan politik di tangan para ketua-ketua partai, akan seterusnya demikian dan orientasi pasar akan selalu menjadi jaminan dan jangkar dari hubungan kedua pihak ini. Sementara itu, rakyat banyak tetap diperlukan dengan nasib mengenaskan seperti sekarang ini, untuk menjamin kedua pihak tersebut dapat di posisinya yang menguntungkan dan tak bergeser seperti sekarang ini. Sebab bilamana rakyat makin terdidik dan makmur, eksploitasi dua pihak tersebut kepada rakyat banyak sebagai tambang suara murah dan konsumen budak (konsumen lowongan kerja dan konsumen barang kebutuhan hidup), tentu tidak akan dinikmati oleh mereka lagi.

Jadi siapa yang membiarkan rakyat laksana budak sekarang ini, siapa lagi kalau bukan Londo Ireng.

~Bhre Wira

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)